***
Kita
adalah sepasang sepatu,
selalu bersama tak bisa bersatu.
Kita... mati bagai tak berjiwa
bergerak karena kaki manusia.
selalu bersama tak bisa bersatu.
Kita... mati bagai tak berjiwa
bergerak karena kaki manusia.
Aku
sang sepatu kanan,
kamu sang sepatu kiri,
kamu sang sepatu kiri,
Tulus
– Sepatu
MEMANG
Lagu Tulus
berjudul Sepatu yang sedang merajai top
chart list di radio-radio Bandung. Hampir setiap sore lagu Tulus selalu
diputar. Mau nggak mau lagu itu akhirnya berhasil mendoktrin otakku dan sukses
menjadi lagu yang paling sering diputar di playlist
handphone. Bukan hanya dikarenakan enak didengar, tapi lagu itu juga punya
makna tersendiri buat aku.
Dia lebih dari sekedar temanku, dia pujaan hatiku.
Entah mengapa sejak pertemuan pertama kali dengannya, seolah ada sebuah magnet
yang berhasil menghipnotis perasaan ini. Perjalanan opentrip Kawah Putih gunung Patuha tiga bulan lalu lah yang
berhasil mempertemukan kami berdua.
Perkenalan yang sangat lumrah dilakukan orang-orang
ketika berpapasan dengan anggota opentrip
lainnya yang akan barengan masuk Kawah Putih, dia orangnya supel.
“Olive..” Dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum mengajak
berkenalan.
“Andi..” Jawab ku sederhana, dengan rasa malu.
“Salam kenal mas!” Timpalnya spontan.
“Andi
aja, biar makin akrab, nggak usah pakai Mas hehe” Ya ampun kaku banget sikapku waktu itu.
“Up
to you...”
Pembukaan acara opentrip
yang dipimpin oleh penyelenggara berlangsung lancar. Perjalanan yang lumayan
jauh memaksa punggung tangan ini menutup mulut dengan sedikit menguap.
Rangkaian sambutan yang dilakukan oleh penyelenggara terasa membosankan sekali.
Salah satu panitia bicara di depan dengan sedikit nada joke atau lelucon untuk menghibur peserta.
“Nanti kalau sudah sampai dilokasi kawah, jangan lupa beli masker
soalnya disana bau belerang nya nyengat sekali ke hidung, jadi masker itu wajib
dimiliki. Tapi, jangan lupa bukan masker perawatan wajah.”
“....”
Anehnya, joke ini tetap
disambut tawa paksa oleh peserta yang ikut.
“Ya,
ampun garing banget.”
Celetuknya refleks.
Aku menoleh kearah Olive, “Iya, kayaknya semua ketawa karena sungkan sama bapak bapak itu.”
“hahahaha,
mungkin juga.”Olive tertawa
renyah mendengar yang aku ucapkan tadi.
Sesudah dia tertawa obrolan pun berlanjut mulai dari
asal mana, pekerjaan, dan apa yang sedang menjadi kesibukkanya saat ini. Ada
hal aneh yang bisa aku rasakan dari percakapan ini. Ada rasa timbal balik yang
muncul dari diskusi diskusi yang kami lakukan. Suatu reaksi tarik menarik dan
tukar pendapat yang terjadi secara natural dan seimbang.
Dengan mata yang berbinar semangat, tangannya juga
ikut bergerak menceritakan kegiatannya mengajar di gerejanya.
Cerita itu membuatku sedikit terhenyak. Ternyata kami
berbeda
Kami memanggil tuhan dengan cara yang berbeda.
Kebiasaanku untuk sholat Jumat seolah berbanding terbalik dengan kebiasaan
Olive dihari Minggu.
Ada helaan nafas dalam hati waktu itu... Dan suara pengeras
suara dari ketua rombongan menyadarkan bahwa kami telah tiba di tempat
destinasi.
“Wow indah sekali Ndi..” kata-kata dari bibirnya saat turun dari kendaraan
pengangkut penumpang ontang-anting1
tepat di depan Kawah Putih.
“Hal
seperti inilah yang membuatku jatuh hati kepada alam dan ketinggian seperti ini
Olive..” jawabku pada
Olive.
“Oiya...?
Jadi kamu suka mendaki gunung Ndi?”Olive seperti penasaran.
“Iya,
aku sangat suka sekali kegiatan mendaki gunung, dan mencumbui tanah tanah
tertinggi di tanah air ini..” Aku dengan nada rendah menjelaskan.
“Wah..
Keren sumpah kamu Ndi. Lain kali ajak aku yah mendaki gunung... Kayaknya puncak
nya gunung ini seru deh, nanti bisa lihat pemandangan Kawah Putih dari atas..” Dengan nada manja Olive tersenyum. Matanya indah
dengan binaran memancar kesegala arah, seperti ada yang menonjok hatiku saat
itu.
“hahaha
boleh, kalau ada waktu luang ingin sekali rasanya mengunjungi satu lagi kawah yang
ada di gunung ini tepat berdampingan dengan Kawah Putih, namanya
Kawah Saat... Kawah termisterius selama ini.” Aku mencoba memberitahu keinginanku untuk dapat
mendaki gunung Patuha ini dilain waktu.
“Owh.. Masih ada
kawah lainnya ternyata ya disini?” Jawab
Olive yang baru mengetahui ada dua kawah di gunung Patuha ini.
“Heemp...” Aku timpal dengan anggukan dan sedikit tersenyum
“Mau
ke gunung manapun itu. Pokoknya ajak aku titik.... Haha... Eh, ayo
sini fotoin aku disini keren view pasir putihnya..” Sedikit tarikan dari tangannya seakan mampu mengusir
kedinginan yang Kawah Putih ciptakan ini.
Lirik lagu Sepatu mengalun pelan dalam pikiranku.
Ku
senang bila diajak berlari kencang, tapi aku takut kamu kelelahan.
|
Ku tak masalah bila terkena hujan, tapi aku takut kamu
kedinginan
Dan tanpa aku sadari kini aku telah bermain dalam
badai perasaan, matanya, sodoran tangannya, terus terulang dalam khayalanku.
Kombinasi pasir putih dan air danau warna hijau tosca ke biruan menambah kesan glamour
kawah ini, Kawah Putih sangat cantik. Seperti Olive.
Sesekali aku coba mencuri pandang kepada Olive, namun
sepertinya Olive telah mengetahui ada hasrat tersirat yang sengaja aku
isyaratkan secara non lisan. Dengan
sedikit menyusun potongan-potongan logika yang tersisa, tubuh ini mencoba
menebak apa yang sedang dia rasakan sekarang? Bagaimana perasaannya? Apakah
Olive merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan?
Sesekali pandangan kami beradu tanpa sengaja. Olive
langsung membuang mukanya ke arah lain. Dan aku selalu tahu, itu tandanya dia
sedang malu.
***
Kini aku terjebak.
Berminggu-minggu sejak Kawah Putih, semuanya
berlanjut. Sobekan-sobekan tiket bioskop, acara-acara musik, dan sekedar dinner
malam minggu telah kami lewati bersama. Juga ratusan menit obrolan yang
melayang di udara, dan ribuan chat semakin menumbuhkan rasa itu.
Hari-hari yang aku lewati kini berlangsung lebih
menyenangkan. Ada rutinitas baru yang mulai aku nikmati, selain naik gunung.
Aku beruntung waktu itu mengikuti acara opentrip itu. Dan sepertinya ini adalah
rasa yang aneh. Tapi setelah itu aku kembali tersadar.
Kita berbeda.
Bagian reff dari lagu Tulus terulang di lamunan
kepalaku, mengalun pelan dan lembut.
Kita
sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa.
Terasa lengkap bila kita berdua, terasa sedih bila kita di rak berbeba.
Di dekatmu, kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya
Terasa lengkap bila kita berdua, terasa sedih bila kita di rak berbeba.
Di dekatmu, kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya
***
Malam itu aku sedikit dikejutkan denga beberapa baris chat dari Olive.
Tanpa perlu aku jelaskan dalam kalimat. Intinya adalah
bagaimana menghadapi keluarganya yang sudah menyiapkan ‘pangeran berkuda’ untuknya. Dan Olive meminta saran kepadaku.
Aku tersadar dalam fase ini, bahwa mau bagaimana pun
kami saling memberi perhatian. Semua itu akan terjadi kehampaan belaka. Dan berakhir dijurang yang dalam.
Sebuah dilema mendadak muncul di hati ini.
Menyarankan ‘Accept’
akan membuat hidupku seakan terjun kejurang.
Menyarankan ‘Refuse’
akan merubah diri ini menjadi hina lebih
dari sebuah kotoran.
Hanya jawaban halus dan masuk akal yang waktu itu bisa
terlontar dari mulut ini. Memintanya untuk mulai memikirkan tawaran
keluarganya, dan mulai mengubur mimpi kami yang selama ini telah kami cita-citakan.
***
Terdengar bijak, yang jujur terasa seperti dipaksakan. Karena memang
sebagian kecil dari hati ini sedang merasakan kecewa.
Pikiranpun mulai terbang melayang cepat beberapa
minggu kebelakang, berakselerasi melawan lorong waktu melewati semua kenangan
itu, lalu berhenti dan stak disebuah
rekaman. Saat aku berjanji kepada Olive untuk mencapai sisi lain dari gunung
Patuha ini. Kawah Saat.
Ya.. ini saatnya, aku ingin sekali mencapai puncak
Patuha itu. Perjalanan kali ini hanya
aku seorang diri bersama tas kerir besar
dan segala peralatannya, nggak ada Olive disini, berbeda dengan perkataan kami
waktu itu. Hemm.. Perjalanan menyendiri
seperti ini memang sangat ngetrend
dikalangan barisan manusia terluka seperti aku saat ini.
Tuhan sepertinnya sedang bercanda. Mengetahui ada satu
insan-Nya yang sedang berbahagia, lalu dia merubahnya begitu saja.
Kabar berikutnya aku dengar, dia memutuskan untuk
memilih pasangan yang telah ditunjuk oleh keluarganya.
Dan dengan legawa, ini saatnya aku memutuskan untuk
menjaga jarak. Mengurangi interaksi dengannya. Melangkah pergi dengan kenyataan
yang mesti diterima.
Dan kali ini aku yakin tuhan sedang mengajarkan mahluk
kecil ini tentang humor.
Tuhan bercanda.
Dia menjatuhkan hatiku kepada sebuah hati yang jelas-jelas
berbeda.
Minggu ini adalah hari dimana Olive akan melangsungkan
pernikahannya. Pasir lembut Kawah Putih lah
yang akan menjadi saksinya. Cinta mereka bersemi di Kawah Putih. Dan aku nggak menyangka tempat secantik Kawah Putih bisa
menjadi tempat yang sangat kelam bagiku
disini, ditempat hening ini.
***
Hhhhhhh.... Aku tarik nafas dalam dan mulai menaikkan
resleting jaket gunungku lebih atas.. suasana hening yang diciptakan oleh kepungan
tebingan Kawah Saat yang seakan
membentuk sumur raksasa telah
membisukan keramaian dunia, dan disini mulutku
berhasil terbungkam tak berkata,
tetapi tidak dengan pikiranku. Patuha nggak pernah se-khidmat ini.
Ada jeda disana, aku baru sadar langkah kaki ini telah
menuntun ketempat sunyi ini, dan disini ditempat semesta kirana bersemayam, sebuah nirwana.
Tuhan ingin memeluk seorang insannya lebih dekat, lebih dari pelukan ibu dan
anak, tuhan memelukku seraya membisikan. “Aku
tau mana yang terbaik untukmu.”
***
Aku memutuskan untuk naik ke Puncak Patuha,
Dua ribu tiga ratus delapan puluh enam meter diatas
permukaan laut aku berdiri disini, dipuncak tertinggi Gunung Patuha sebagai
pembatas curam dua sisi kawah, Kawah Putih dengan keindahan yang dipenuhi tipuannya dan Kawah Saat dengan segala keheningannya yang memelukku. Sebuah keabadian dalam sekat-sekat yang sengaja tuhan ciptakan. Sebuah
keindahan tentang bagaimana cara anak manusia belajar “Merelakan
dan Mengiklaskan.”
Terdengar lagu tulus yang keluar dari speaker
handphone didalam tenda memasuki bagian akhir. Lirik lagu Sepatu yang menjadi
penutup.
“Cinta memang
banyak bentuknya, mungkin tak semua... bisa bersatu.”
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar